Senin, 11 Juni 2012

TUGAS SOFTSKILL BAHASA INGGRIS ARTIKEL BESERTA KOMENTAR

ARTIKEL KE 1
 
NAMA           :    ALLAN ERLANGGA
NPM              :    20209293
KELAS                        :     3eb17

“Menabung adalah cara paling lambat untuk kaya. Tidak menabung adalah cara paling efektif untuk tetap miskin”

                Saat saya posting kalimat di atas di status twitter dan facebook, ada beragam komentar yang masuk. Ada yang kebingungan, ada yang berkomentar untuk menabung emas saja agar lebih cepat, ada yang bertanya bagaimana caranya biar cepat kaya, dan ada juga yang malah salah menangkap maksudnya saya dengan berkomentar “kalau begitu di tengah-tengah saja” dan “jadi dilema”.
Menabung adalah cara paling lambat untuk kaya.
                Maksud saya adalah menabung atau menyisihkan uang dan menyimpannya di rekening tabungan adalah cara paling lambat untuk kaya. Kenapa saya sebut lambat? karena menyimpan dana di tabugan (dan instrumen likuid lainnya) memberikan hasil atau return yang sangat kecil. Bahkan lebih kecil dari inflasi.
                Walaupun di atas kertas memiliki nilai rupiah yang lebih tinggi dalam beberapa tahun. Tapi kalau dilihat dari daya belinya mungkin malah merosot. Maka ini saya sebut dengan cara yang lambar untuk kaya.
                Tapi apakah itu berarti saya tidak menyarankan tabungan? Tentunya tidak. Karena kita masih tetap memerlukan tabungan. Tapi tujuannya bukan untuk menambah kekayaan, tapi untuk berjaga-jaga dalam kondisi darurat dan sebagainya. Karena tabungan fungsinya sangat likuid, maka cocok untuk dijadikan sebagai cadangan.
                Lalu bagaimana caranya agar bisa lebih cepat kaya? Bisa menabung rutin saja tidak cukup, tapi harus dikembangkan lagi dengan produk investasi yang lain dengan keuntungan yang lebih tinggi.

Tidak menabung adalah cara paling efektif untuk tetap miskin.
                Yang saya maksud dengan pernyataan ini adalah jika tidak memiliki tabungan, maka risiko untuk jatuh miskin akan sangat besar. Karena tidak ada tabungan artinya menjadi sangat rentan terhadap risiko keuangan. Kadang ada pengeluaran tambahan yang harus dikeluarkan, entah itu karena sakit, ada yang pinjam uang, dan sebagainya. Di sini lah tabungan berperan.
                Karena jika tidak punya tabungan, maka yang terjadi adalah pengeluaran darurat tadi harus ditanggulangi dengan cara berhutang. Dengan berhutang, masalah saat itu selesai, sementara. Sedangkan di bulan depannya, pengeluaran akan lebih besar lagi karena harus membayar kembali hutang tersebut.
                Bagaimana kalau investasi saja tanpa perlu menabung? Biasa sih investasinya akan gagal. Karena punya investasi tapi tidak punya tabungan artinya kita akan mengorbankan investasi dijual rugi atau berhutang seperti di atas. Dan jika tidak terbiasa menabung, maka sulit juga bisa investasi secara rutin. Tidak menabung, sulit berinvestasi, tetap miskn.
               
Komentar
In my article above is pretty good and really gives a pretty good information and my message is Save money, but do not be satisfied simply by saving it because it's not enough to make you rich.
Referensi
http://zelts-consulting.com/%E2%80%9Cmenabung-adalah-cara-paling-lambat-untuk-kaya-tidak-menabung-adalah-cara-paling-efektif-untuk-tetap-miskin%E2%80%9D/


ARTIKEL KE 2


NAMA           :    ALLAN ERLANGGA
NPM              :    20209293
KELAS                        :     3eb17


Saving Dulu, Baru Shopping;Mereka bisa, kenapa kita tidak?

                Dalam mengatur prioritas pengeluaran, ada satu prinsip yang selalu saya tekankan, yaitu “saving dulu baru shopping”. Atau pos pengeluaran untuk menabung/investasi (saving) seharusnya didahulukan sebelum pos pengeluaran untuk biaya hidup (shopping).
                Ketika saya sampaikan prinsip ini, banyak orang yang memberikan komentar yang pesimis. “Wah, gak mungkin itu kita lakukan. Selama ini aja berasa kurang, bagaimana mau saving duluan. Nanti malah gak ada buat shopping”. Tentunya ini adalah alasan klasik dan memang tidak mudah untuk mengubah paradigma dalam mengelola keuangan yaitu mendahulukan saving dulu daripada shopping. “Ah, itu kan cuma bisa dilakukan oleh orang yang penghasilannya besar sekali. Penghasilan saya kan pas-pasan”. Lagi-lagi alasan itu yang keluar sekalipun saya tekankan betapa pentingnya melakukan investasi/menabung sebelum digunakan untuk belanja.
                Kalau Anda masih menganggap bahwa konsep saving dulu baru shopping hanya akan bisa dilakukan oleh seseorang yang berpenghasilan besar, mari kita simak testimoni dari seorang istri kuli angkut di pelabuhan tanjung priok. Dari sisi penghasilan jelas tidak seberapa, jauh dibandingkan penghasilan Anda sebagai karyawan.
                Pada saat saya menyampaikan konsep ini di hadapan sekitar seratusan orang peserta yang mayoritas adalah kalangan kurang mampu yang mengandalkan penghidupannya dari kawasan pelabuhan Tanjung Priok dan sekitarnya, memang sebagian diantara mereka pesimis bisa menjalankan konsep ini dengan baik. Karyawan berpenghasilan tetap di atas UMR saja masih banyak yang pesimis, apalagi mereka yang penghasilannya tidak pasti dan di bawah UMR, wajar sajalah untuk pesimis.
                Tapi diantara yang pesimis, ada sebagian orang untuk memilih tetap bersikap optimis. Setidaknya tidak sebelum mencoba konsep tersebut dalam rumah tangga mereka. Sebutlah ibu Neni yang memilih untuk mencoba lebih dahulu sebelum mengatakan TIDAK.
                Jika biasanya ibu Neni selalu menyediakan segelas kopi dan sebungkus rokok setelah sarapan untuk bekal suaminya bekerja seharian, hari itu ibu Neni menyediakan segelas kopi dan hanya menyediakan 2 batang rokok saja di samping gelas kopi.

“Kok cuman 2 batang doang? Emangnya duit yang gue kasih semalem kurang?” tanya sang suami.
“Mulai hari ini, gue mau nabung bang. Duitnya gue tabung dulu, sisanya ya itu buat rokok cuman kebeli 2 batang. Nanti kalo kurang ya tinggal beli lagi aja. Sekarang cobain aja dulu sehari 2 batang” begitu penjelasan ibu Neni pada suaminya.
“Nabung…Kagak salah denger gue? Emangnya duit kite ada sisanya apa buat ditabung?” Tanya suaminya penasaran.
Ibu Neni tak mau kalah menjawab “Justru itu bang. Kalo nunggu sisa mah mana bisa. Mangkanye itu duit semalem gue tabung dulu, terus belanja dapur tadi pagi, nah sisanya itu rokok cuman bisa kebeli 2 batang. Gitu kemarin gue diajarin di pengajian.”
“Aaah… ya udeh deh. Hari ini 2 batang aja. Bagus sih lu bisa nabung, tapi laen kali kagak usah ikut pengajian kaya gitu lagi deh.” Gumam si suami yang setengah setuju tapi masih berasa berat menjalankannya.

                Alhasil hari itu si suami berangkat kerja hanya dengan 2 batang rokok di kantongnya. Sepulangnya ke rumah, ia tidak meminta tambahan rokok dan ternyata 2 batang rokok memang cukup jika yang tersedia hanya 2 batang itu. Dan keesokan ia kembali dibekali 2 batang rokok, tidak lebih. Namun kali ini ia tidak banyak bicara, terima saja aturan baru yang dijalankan istrinya.
                Ini bukan masalah rokok yang memang bisa dikurangi, atau apapun juga. Tapi pada dasarnya setiap pengeluaran ternyata masih bisa dihemat, apapun itu. Sehingga tidak ada alasan lagi penghasilan pas-pasan membuat Anda sulit menabung.
                Yang perlu dilakukan adalah mencoba mengubah kebiasaan. Ubah kebiasaan Anda untuk saving dulu baru shopping. Mungkin akan ada jatah shopping yang terpaksa berkurang. Tapi sejalan dengan waktu, hal itu akan menjadi kebiasaan baru dan tidak akan berasa lagi kurang.

Komentar
The article is very good because the concept of saving it first before shopping can be done by the NII people who have a mediocre income and article above may also address concerns over the concept of saving first before shopping.
Referensi
http://zelts-consulting.com/saving-dulu-baru-shoppingmereka-bisa-kenapa-kita-tidak/




ARTIKEL KE 3



NAMA           :    ALLAN ERLANGGA
NPM              :    20209293
KELAS                        :     3eb17


Mimpi Negeri Tanpa Korupsi
Tokoh Muda Inspiratif Kompas #24
Fadjroel Rahman – Pegiat antikorupsi, calon Presiden independen 2009

http://yudhitc.files.wordpress.com/2009/11/fadjroel-rahman.jpg?w=199&h=300Pada 28 Oktober lalu, tepat 81 tahun Sumpah Pemuda, tokoh mahasiswa Institut Teknologi Bandung, 1978, M Fadjroel Rachman, yang pernah mendekam di LP Sukamiskin, Jawa Barat, oleh rezim Orde Baru, mendeklarasikan diri kembali menjadi calon presiden independen tahun 2014. SUHARTON
Ini merupakan deklarasi kedua Fadjroel sebagai calon presiden (capres) setelah deklarasi pertama Februari 2009. Waktu itu pencalonannya kandas setelah Mahkamah Konstitusi menolak uji materinya terhadap capres perseorangan atau independen.
Kini, didukung gerakan nasional independen, Fadjroel maju kembali sebagai capres. Ia mengaku tak ingin mencari keuntungan sendiri menjadi capres RI, tetapi ingin mengembalikan hak konstitusional warga lainnya bisa maju sebagai capres.
Bahkan, Fadjroel yang juga aktif ikut gerakan antikorupsi memiliki harapan, yaitu jika calon independen bisa memenangkan uji materi, tidak hanya kelompok demokrasi yang bisa masuk ”merebut negara”, tetapi juga berkiprah mengawal pemberantasan korupsi dan melawan mafia hukum secara semesta.
Optimismenya maju kembali dan ”menembus” MK berawal keberhasilannya ketika ia dan kawan-kawannya ”memenangkan” uji material di MK, 23 Juli 2007, yaitu calon independen untuk pemilu kepala daerah.
Untuk memuluskan pencalonannya, Fadjroel tidak hanya mengurus uji materi ke MK, tetapi juga merevisi UU Partai Politik agar parpol bisa melaksanakan konvensi penentuan calon dan juga melakukan amandemen UUD 1945.
Menurut Fadjroel, ”kemenangan demokrasi” itu tinggal selangkah lagi. Bagaimana pemikirannya, seperti apa mimpinya atas sebuah negeri tanpa korupsi serta upaya ”perlawanan” mengenai antidemokrasi. Terkait itu, Kompas mewawancarainya, beberapa waktu lalu. Inilah sebagian wawancaranya.
Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III menimbulkan ”keributan”. Bagaimana Anda melihat dan memetik pembelajaran pertemuan itu bagi demokrasi?
Proses demokrasi yang terpenting, menurut saya, adalah dialog, ada kesetaraan yang argumentatif dan rasional. Apa pun masalahnya bisa dibicarakan dalam pemahaman itu. Kita menghindari monolog selama 32 tahun hidup di era Orde Baru.
Kami datang dengan satu pikiran, Komisi III bisa menjelaskan mengapa mereka bisa membuat kesimpulan bersama kejaksaan yang mendesak Kejaksaan RI menangani perkara dua pimpinan KPK yang nonaktif. Sementara Tim Delapan, yang dibentuk Presiden, membuat rekomendasi yang fakta dan proses hukum yang dimiliki Polri tidak cukup bagi dilanjutkannya proses hukum pimpinan KPK.
Pertanyaannya, Komisi III menentang rekomendasi Tim Delapan. Kami sebenarnya memohon satu dialog yang komunikatif sehingga ada alasan rasional dan obyektif.
Maksudnya?
Tampaknya mereka masih merasa sebagai pejabat negara dan bukan seorang politisi publik yang bertanggung jawab. Ketika kami berkali-kali menanyakan itu, jawabannya mengambang dan seolah-olah kedatangan kami mengorbankan waktu.
Puncaknya, saat guru besar UI Tamrin Tomagola menjadi kesal. Mengapa pertanyaan yang jelas justru tidak dijawab dengan rasional obyektif, tetapi malah berputar-putar dan suara yang agak keras. Kesimpulan saya, mereka tidak siap berdialog. Padahal, bangunan demokrasi itu jantungnya dialog rasional dan obyektif.
Kira-kira apa yang menjadi penyebab? Apakah terjadi kesenjangan kaum intelektual dan kaum politisi?
Menurut saya, partai politik memang seharusnya menyeleksi lebih dulu terhadap anggota-anggota yang bertarung di pemilu. Akan tetapi, ternyata parpol tidak memilih calon terbaik, tetapi diserahkan pada seleksi masyarakat sehingga hasilnya seperti ini. Padahal, rakyat tidak punya pendidikan demokrasi yang kuat saat memilih.


Mengapa bisa begitu?
Saya kira karena pendidikan politik di Indonesia atau demokrasi, seperti pernah saya katakan, baru ”satu derajat di atas nol”. Artinya, seolah-olah demokrasi itu eksis setelah kita bebas dari cengkeraman Orde Baru, yakni dengan mendirikan partai politik dan menggelar pemilu.
Akan tetapi, tidak ada ajaran yang kuat terhadap hak-hak mereka, yaitu hak sipil, bagaimana orang mengenali bahwa kalau menyuarakan pikiran itu adalah sebuah kebebasan dan apa yang disuarakan itu kepentingan dasar.
Jadi, demokrasi yang diperjuangkan hanya yang prosedural. Tetapi, inti dari demokrasi, yaitu orang membela hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya itu, tidak terjadi. Akibatnya, mereka memilih orang dan bukan orang atau wakil rakyat yang mau membela kelima hak dasar itu saja.
Dalam reformasi 11 tahun ini, pendidikan demokrasi atau pendidikan hak dasar itu relatif baru. Sementara demokrasi kita dibajak para individu yang antidemokrasi. Mereka orang-orang yang bercokol selama rezim totaliter Orde Baru. Inilah yang ”memenjarakan” para fraksi di DPR. Padahal, seharusnya aktor-aktor demokrasi itu yang harus mengisi lima arena, yakni arena politik, ekonomi, masyarakat bisnis, civil society, birokrasi, dan arena hukum. Demokrasi hanya bisa berjalan jika lima wilayah diisi oleh aktor-aktor demokrasi.
Mengapa kita tidak menjalankan demokrasi substansial?
Ibarat sekolah, kita masih kelas satu. Padahal, kemarin ketika reformasi kita punya kesempatan dan momentum emas untuk menjalankan hak dasar. Momentum waktu itu adalah saat reformasi mendorong hak-hak dasar saat mendirikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sayangnya, waktunya dibatasi untuk kasus setelah 1999. Demikian Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang tidak jadi diteruskan pembentukannya serta restrukturisasi utang luar negeri yang harus dijalankan. Akibatnya, momentum itu hilang dan korupsi masih tidak bisa dihilangkan hingga saat ini.
Jadi, korupsi tidak mungkin pupus?
Ada hari di mana kita bermimpi bahwa korupsi itu hanya ada di museum nasional dan di sana terdiri dari diorama-diorama. Kita juga bermimpi Indonesia yang bebas kemiskinan sehingga anak cucu kita bisa dibawa melihat diorama kemiskinan, pelanggaran hak asasi manusia, buruh, dan lainnya.
Kalau anak cucu kita bertanya, bagaimana korupsi itu, mimpi saya itu, mari kita bawa ke museum nasional. Misalnya, museum tentang BLBI, Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Di situ digambarkan orang-orangnya, lalu ada diorama bagaimana mereka korupsi. Bisa saja, ada diorama korupsi di PT Masaro Radiokom, diorama gratifikasi Bank Indonesia, dan diorama lainnya yang menjadi masa lalu bangsa kita.
Tidak bisa momentum baru untuk mengembalikan semuanya kembali?
Saya berpikir bahwa momentum itu baru terjadi pada tahun 2014, yaitu ketika terjadi regenerasi nasional, ketika semua lembaga politik dan lima arena akan diisi generasi baru, generasi non-Orde Baru dan non-Soeharto. Saya yakin bisa, berdasarkan adanya pergeseran regenerasi politik dari sekarang ini.
Selasa, 24 November 2009

Komentar
                My comment about the purpose of democracy is supposed to give priority to civil rights, political rights, economic rights, social rights and cultural rights in advance of democracy compared to the profit interests of individuals or procedural.
Referensi
http://yudhitc.wordpress.com/2009/11/25/mimpi-negeri-tanpa-korupsi/#more-1333


ARTIKEL KE 4



NAMA           :    ALLAN ERLANGGA
NPM              :    20209293
KELAS                        :     3eb17


Menjadi Penguasa Belum Tentu Memimpin
Tokoh Muda Inspiratif Kompas #20
Anis Matta – Wakil Ketua DPR-RI 2009-2014
http://yudhitc.files.wordpress.com/2009/11/anis-matta.jpg?w=296&h=300Dari pengalaman berpartai sejak gemuruh reformasi 1998, Anis Matta berpendapat, memimpin bangsa jauh lebih berat dari sekadar memenangi pemilihan umum. Ketika kemenangan tidak disertai kapasitas memimpin, distribusi kekuasaan politik harus dilakukan sehingga ide besar untuk kesejahteraan rakyat tak dapat diwujudkan.
Anis Matta, yang turut membidani kelahiran Partai Keadilan, kini bermetamorfosis menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), memandang gerakan dakwah perlu menjadi perjuangan yang melembaga dalam struktur politik karena inti dari gerakan itu adalah penyadaran untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Ia meyakini bahwa partai politik yang mengandalkan figur untuk memimpin akan habis di tengah jalan. Sosok figur cepat atau lambat akan berakhir, sementara ide terus berkembang. Partai politik hanya akan bertahan dengan ide dan organisasi yang tangguh.
Meski begitu, sejak era Orde Lama, negeri ini sudah menghabiskan banyak energi untuk konflik ideologi yang disebut Anis tidak relevan bagi pertumbuhan bangsa semajemuk Indonesia. Konflik aliran yang dilabeli sebagai kelompok Islam dan nasionalis, misalnya.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Anis Matta, beberapa waktu lalu:
PKS dipandang membawa politik beridentitas Islam. Seberapa aliran politik ini mengakomodasi pluralisme?
Kita ini bangsa yang majemuk, lahir dari beragam identitas lokal, dibentuk oleh satu identitas besar sebagai bangsa. Penting bagi setiap kelompok politik untuk mempunyai basis ideologi. Itu adalah referensi pembelajaran untuk merumuskan masa depan. Kita bisa punya banyak referensi dan Islam adalah salah satunya.
Tidak ada satu bangsa yang diwarnai hanya oleh satu ideologi, pasti selalu beragam, apalagi bangsa sebesar kita.
Adalah kesalahan besar untuk mengeliminasi identitas kelompok. Namun, kesalahan juga bagi kelompok jika tidak bisa mengintegrasikan ideologinya dalam kehidupan berbangsa. Dibutuhkan proses integrasi karena selama ini kita kerap hidup dalam dikotomi. Saya tidak perlu memisahkan identitas saya sebagai Muslim dan orang Indonesia karena itu bukan dua hal yang bertentangan.
Sekarang ini kita justru perlu lebih banyak lagi sumber pembelajaran untuk mengisi kevakuman pemikiran dari mana pun datangnya, termasuk dari Barat dan Islam.
Pluralisme adalah fakta yang membentuk watak keindonesiaan kita. Tidak ada satu agama yang datang ke Indonesia bisa menghilangkan pluralisme tadi. Kita ini bangsa yang luar biasa elastis dan begitu terbuka.
Ketika membawa Islam dalam perpolitikan, kami juga datang dengan kesadaran pluralisme seperti itu. Tetapi, pluralisme bukan berarti kita tidak mempunyai identitas.
Bagaimana Anda memandang penerapan syariat Islam dalam hukum formal di Indonesia?
Ketika merumuskan suatu regulasi, misalnya di DPR, kita perlu memakai banyak referensi. Kita mempelajari hukum dari Barat, dari Timur, syariat Islam juga salah satunya.
Banyak orang keliru memandang soal ini. Syariat Islam itu amat luas dan bagian hukum pidana dalam syariat Islam sebenarnya hanya sedikit. Hukum pidana dalam Islam itu membutuhkan terms and conditions (persyaratan) untuk diterapkan. Misalnya, hukum potong tangan hanya bisa diterapkan bila pada umumnya masyarakat sudah sejahtera.
Contoh lain, hukum rajam untuk perzinaan. Rajam adalah sanksi, tetapi untuk sampai pada sanksi, proses pembuktiannya terlalu rumit. Misalnya, diperlukan empat orang yang menyaksikan seseorang berzina dan menyaksikan dengan amat jelas. Seseorang bisa disaksikan oleh empat orang berzina sejelas itu mungkin ketika memproduksi film porno, live show, atau membuat pesta seks. Artinya tidak sekadar berzina, tetapi mempertontonkan perzinaan.
Saya melihat salah pandang seperti itu tidak terjadi pada syariat Islam, tetapi juga banyak sumber hukum yang lain. Proses pembuatan hukum di Indonesia sering tidak matang karena referensinya tidak betul-betul dipahami dengan baik.
Sebagai Wakil Ketua DPR, apa yang akan Anda lakukan menyikapi itu?
Dalam periode saya sekarang, misi saya pribadi di pimpinan DPR adalah memperkuat infrastruktur legislasi. Pekerjaan politisi seharusnya berbasis intelektual karena yang kita buat adalah aturan bagi semua orang. DPR itu, menurut saya, adalah akal kolektif bangsa Indonesia.
DPR harus mempunyai basis riset akademis yang kuat dalam pembuatan regulasi. Saya sudah mengusulkan di pimpinan DPR agar kita segera membangun perpustakaan besar sejenis dengan perpustakaan kongres di AS, yang merupakan perpustakaan terbesar di AS. Basis riset perlu menjadi tulang punggung pembuatan regulasi. Metode dengar pendapat dan studi banding yang dipakai selama ini hanya jadi sentuhan akhir saja.
Tetapi, makin mudah sekarang menjadi anggota DPR?
Sistem politik memungkinkan untuk itu. Media sosialisasi pun jauh lebih luas, tetapi fenomena ini tidak akan bertahan lama. Tidak semua yang masuk ke politik akan bertahan sebagai politisi, Menurut saya, yang akan bertahan di dunia politik ini adalah mereka yang punya niat baik dan kompetensi untuk memberi. Mereka yang mencari hidup di dunia politik tidak akan bertahan.
Bagaimana Anda melihat perpolitikan di Indonesia sekarang?
Perkembangan politik kita sekarang sangat menjanjikan. Kita adalah bangsa besar yang diberi kesempatan berkompetisi secara sehat oleh sistem politik kita, mulai dari struktur tertinggi hingga tingkat desa, terjadi suatu seleksi kepemimpinan secara sistemik. Cepat atau lambat, sistem ini akan memilih putra-putra terbaik dari bangsa kita ini untuk memimpin. Yang paling diuntungkan oleh sistem ini adalah mereka yang berumur 10-15 tahun pada awal reformasi. Mereka hidup dalam era kompetisi dan menyiapkan diri lebih baik untuk memimpin. Sekarang masih banyak karut-marut, tetapi sistem ini akan memproduksi output yang jauh lebih baik di kemudian hari, bukan sekarang.
Bagaimana Anda melihat kepemimpinan nasional pada 2014 dan setelahnya?
Saya melihat PKS punya dua masalah, soal kapasitas untuk memimpin di tataran strategis dan kapasitas untuk menang di tataran taktis. Menurut saya, memenangi pemilu itu pekerjaan yang tidak terlalu sulit, memimpin lebih sulit. Kita belajar dari kepemimpinan di era Reformasi selama 10 tahun terakhir ini. Bagaimana parpol muncul mendadak, menjadi besar, lalu turun terus. Bagaimana seorang pemimpin atau figur naik, kemudian turun dan lenyap seketika.
Misalkan Anda seorang presiden, kalau Anda tidak datang dengan sebuah tim yang besar, pekerjaan pertama yang harus Anda lakukan adalah distribusi politik, membagi-bagikan kekuasaan itu pada orang lain, Tim yang Anda bentuk pada saat memimpin itu adalah tim yang dicomot dari sana-sini. Tak akan ada satu ide besar yang bisa direalisasikan dengan cara itu.
Karena itu, saya berpikir bahwa ini bukan sekadar persoalan figur, kita perlu bicara tentang ide-ide besar dan kapasitas besar untuk memimpin. Tidak semua yang menang itu akhirnya berkuasa dan tidak semua yang berkuasa pada akhirnya memimpin. Saya malah khawatir negeri kita ini sebenarnya dipimpin oleh the ghost leaders (para pemimpin bayangan).
Dulu penguasa adalah sekaligus pemimpin. Soekarno berkuasa dan benar-benar memimpin, tidak ada ghost leaders di zamannya, Soeharto berkuasa dan benar-benar memimpin. Sekarang ini yang ada adalah the ghost leaders. Mereka itulah pemimpin sebenarnya, cuma kita tidak tahu siapa.
Saya kira bukan keharusan PKS mengajukan calon pemimpin sendiri pada 2014. Lebih penting mempertahankan posisi yang kokoh dalam arus besar politik sambil memberi bukti bahwa kami punya kapasitas dengan kinerja yang baik.
Oleh : Nur Hidayati / KOMPAS, Kamis, 19 November 2009

Komentar
In my article above is very good. Be the master but not necessarily meminpin? it's true because I think it would be useless and unfortunate if there is a ruling sector in the country but do not have the soul of a leader not a good result can be obtained even worse results obtained
Referensi
http://yudhitc.wordpress.com/2009/11/25/menjadi-penguasa-belum-tentu-memimpin/#more-1321


ARTIKEL KE 5


NAMA           :    ALLAN ERLANGGA
NPM              :    20209293
KELAS                        :     3eb17


Pita Hitam untuk Matinya Keadilan
Oleh Ahmad Arif
Dwi Deni (25), Senin (2/11) siang itu, sengaja meminta izin dari kantornya, konsultan swasta untuk Departemen Pekerjaan Umum. Izinnya, ”Ada keperluan pribadi.” Namun, sebenarnya ia melakukan sesuatu yang disebutnya, ”Demi kepentingan bangsa.” 
Siang itu, matahari terik membakar. Dwi berbaur dengan massa Cintai Indonesia Cintai KPK (Cicak) di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta. Pita hitam melingkar di lengan kirinya. ”Masyarakat maunya sederhana, yang benar didukung dan yang korup diberantas,” kata Dwi.
Rakyat, papar Dwi, lelah dengan janji-janji. Janji Presiden untuk memberantas korupsi, tetapi terlihat berpihak kepada polisi yang justru ingin melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Semangat yang sama juga menggerakkan Anwar Umar (80) untuk mengikuti aksi itu. Sama seperti Dwi, pita hitam erat melingkar di lengan kirinya. Pita hitam yang menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan korupsi.
Dengan langkah berat dan lelah, serta suara yang bergetar, Anwar masih bersemangat. ”Presiden berganti, pemerintahan berganti, tetapi mengapa rakyat tetap miskin? Ini karena korupsi tetap merajalela,” katanya.
Suasana siang itu mengingatkan Anwar pada 11 tahun silam menjelang era reformasi. ”Saya tak rela reformasi hanya melahirkan penguasa yang tak mau berpihak kepada rakyat,” katanya.
Siang itu Bundaran Hotel Indonesia (HI) ramai oleh massa berpita hitam. Tak hanya di HI, di beberapa kantor, karyawan juga memakai pita hitam atau baju hitam. ”Ini bukan karena ikut-ikutan, tetapi kami secara sadar mendukung gerakan melawan korupsi,” kata Susi Afianti (26), karyawati salah satu bank swasta di kawasan Sudirman.
Selain di Jakarta, gerakan pita hitam, yang merupakan episode lanjut dari pertarungan ”cicak melawan buaya (istilah yang dipakai seorang petinggi Polri untuk instansinya)”, mulai menyebar di beberapa daerah. Pada hari yang sama, unjuk rasa terjadi di beberapa daerah. Unjuk rasa itu dipicu penahanan Wakil Ketua (nonaktif) KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.
Di dunia maya, dukungan kian menggelembung. Hingga pukul 21.00, hampir setengah jutafacebookers menyatakan dukungan terhadap Bibit dan Chandra. Dari mana munculnya gerakan ini sesungguhnya?
Kekuatan rakyat
Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid mengatakan, gerakan ini berasal dari kesadaran terdalam rakyat yang muak dengan korupsi dan retorika penguasa. ”Walau tanpa dukungan dari partai oposisi, gerakan ini bisa menjadi kekuatan rakyat,” ujarnya.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengimbau agar pemerintah tak meremehkan kekuatan rakyat. ”Dukungan rakyat bila tidak mampu dibendung Presiden berpotensi berubah menjadi kekuatan rakyat atau people’s power,” katanya.
Tahun 1986, kata Hikmahanto, kekuatan rakyat di Filipina mampu melengserkan Ferdinand Marcos dari kekuasaannya. Demikian pula di Indonesia tahun 1998 kekuatan rakyat bisa melengserkan Soeharto. ”Dari berbagai pengalaman, kekuatan rakyat tidak mungkin dihadapi dengan kekuasaan,” ujarnya.
Dalam konteks kisruh KPK dan Polri, pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 30 Oktober lalu ternyata tidak mampu menyurutkan dukungan masyarakat terhadap Bibit dan Chandra.
Bibit dan Chandra, kata Hikmahanto, telah dijadikan simbol oleh rakyat. ”Semakin lama mereka ditahan, semakin kuat dukungan. Dukungan pun semakin lama semakin berpotensi untuk berubah menjadi kekuatan rakyat,” ujarnya.
Namun, pada akhirnya, menurut Hikmahanto, Presiden mulai mendengar suara kritis dengan membentuk Tim Independen Verifikasi Proses Hukum terhadap Bibit dan Chandra. Hikmahanto menjadi salah satu anggotanya. ”Jangan terlalu banyak berharap, tetapi kita akan bekerja keras dalam dua minggu ini,” katanya.
Apakah ini akan meredam gerakan rakyat yang sudah kadung kecewa berat?
Bagai candu
Illian Deta Arta Sari dari Komunitas Cicak mengatakan, gerakan pita hitam bukan hanya simbol melawan ketidakadilan dalam proses hukum Bibit dan Chandra. ”Tetapi, seharusnya menjadi tonggak untuk membenahi proses penegakan hukum. Lebih penting lagi, gerakan ini untuk melawan korupsi. Selama tim independen belum menyentuh masalah ini, kami akan terus bergerak,” katanya.
Malam itu, setelah lelah berpanas di HI, Irma Hidayana, anggota Komunitas Cicak, sibuk di studio rekaman. ”Sejumlah artis yang mendukung KPK tengah membuat ringtone untuk telepon genggam. Mereka adalah Fariz RM, Once, Jimo ’KJP’, dan Cholil ’ERK’. Besok ringtone ini mulai beredar di seluruh Indonesia. Gratis,” katanya.
Simaklah liriknya, KPK di dadaku KPK kebanggaanku, kuyakin kebenaran pasti menang. Kobarkan semangatmu, tunjukkan kebersihanmu, kuyakin kebenaran pasti menang….
KOMPAS, Selasa, 3 November 2009


Komentar
Very nice article.
I think it is true that strength poitik is nothing compared to the power of the people if indeed the people were really mean it. Can not be avoided if every country there are the perpetrators of corruption can be reduced in number but of course with the presence of institutions that hold perpetrators of corruption in Indonesia, KPK.
It is not easy task of the Commission but not impossible to eradicate the corruption.
Referensi
http://yudhitc.wordpress.com/2009/11/11/pita-hitam-untuk-matinya-keadilan/#more-1296

Tidak ada komentar:

Posting Komentar